Berharap Sekolah Lancar dengan Kartu Indonesia Pintar


Dunia pendidikan dasar dan menengah Indonesia belum lama ini kembali memasuki tahun ajaran baru. Persoalan yang dihadapi orangtua tak hanya terkait biaya pokok sekolah, tetapi juga mahalnya biaya penunjang pendidikan, seperti buku pelajaran dan seragam.

Seorang warga Kota Malang Jawa Timur, Kamis (21/5) menerima hadiah sepeda dari presiden Jokowi. Pada saat itu presiden menyerahkan total 11.077 kartu Indonesia pintar, kartu indonesia sehat, kartu keluarga sejahtera, dan kartu asistensi sosial bagi warga Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATISeorang warga Kota Malang Jawa Timur, Kamis (21/5) menerima hadiah sepeda dari presiden Jokowi. Pada saat itu presiden menyerahkan total 11.077 kartu Indonesia pintar, kartu indonesia sehat, kartu keluarga sejahtera, dan kartu asistensi sosial bagi warga Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang.
Program Kartu Indonesia Pintar belum bisa diharapkan. Pemahaman sebagian masyarakat masih minim terkait dengan program ini.
Kesimpulan tersebut antara lain berhasil ditarik dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas. Mayoritas responden yang berhasil terjaring dalam jajak pendapat ini menyatakan mahalnya biaya kebutuhan sekolah. Lebih dari separuh responden (57 persen) antara lain menyatakan buku pelajaran mahal. Padahal, buku pelajaran dianggap sebagai bagian dari proses pengajaran yang penting di sekolah.
Sebagian responden (51 persen) juga merasakan beratnya beban biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan seragam sekolah anak-anak mereka. Salah satu orangtua siswa di Jakarta Selatan, Yohanes (45), berpendapat biaya seragam sekolah secara umum tidak murah.
Bapak yang anaknya mulai masuk bangku sekolah menengah pertama (SMP) negeri tersebut mengaku mengeluarkan biaya Rp 630.000 untuk membeli seragam putih-biru dan seragam olahraga untuk anak perempuannya.
"Itu belum termasuk biaya untuk beli seragam batik. Memang harga di pasaran mungkin juga sama. Tetapi, untuk orangtua yang penghasilannya sejuta rupiah per bulan pasti berat kalau harus membeli baju seharga itu," ujar Yohanes.
Mahalnya biaya pendidikan dan pendukungnya boleh jadi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Lama sekolah penduduk Indonesia rata-rata lebih singkat dibandingkan dengan negara tetangga.
Publikasi United Nations Development Programme tahun 2014 menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya 7,5 tahun. Adapun rata-rata lama sekolah di Singapura 10,2 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, dan Brunei 8,7 tahun.
Kartu Pintar
Potret kondisi tersebut sejauh ini ditangkap cukup baik pemerintah. Sejak November 2014 pemerintah pusat meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Program ini melengkapi kebijakan Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang sudah berjalan sejak 2008 dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diluncurkan sejak Juli 2005.
content
,,
Dana BOS diberikan untuk mendukung kegiatan operasional sekolah sehingga tak boleh ada pungutan lagi di sekolah negeri. Berikutnya, pemerintah menggelontorkan dana BSM khusus untuk siswa miskin yang masih mengenyam pendidikan di sekolah negeri agar mereka tidak putus sekolah.
Sementara itu, keberadaan dana KIP bertujuan meraih kembali siswa yang putus sekolah dan menjangkau siswa yang kini bersekolah di jenjang pendidikan nonformal.
Pemerintah mengupayakan realisasi program KIP dengan cepat. Tahun lalu ada 6,3 juta siswa penerima KIP dan tahun ini ditargetkan untuk 20,4 juta siswa lainnya. Secara keseluruhan, jumlah itu artinya menjangkau 48 persen dari total sekitar 55 juta siswa putus sekolah di Indonesia.
Namun, tujuan baik pemerintah itu hanya akan berhenti sebatas pada program bagi-bagi uang jika tidak dimanfaatkan dengan baik dan dukungan optimal berbagai pihak terkait. Contoh pentingnya dukungan pihak terkait tecermin dari peristiwa sambutan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di pameran buku di Parkir Timur Senayan, Jakarta Pusat.
Dalam sambutannya, Basuki mengimbau warga ataupun pemegang kartu pintar untuk tidak lagi membeli perlengkapan sekolah di Jakbook and Edu Fair 2015 (Kompas, 27/2/2015).
Basuki kecewa lantaran ia sudah mengerahkan 489.000 siswa pemegang kartu pintar Jakarta untuk membeli peralatan sekolah di pameran itu, tetapi justru tidak didukung para pedagang karena harga peralatan sekolah yang dijual lebih mahal dari harga pasaran.
Pemahaman dan kesadaran pihak sekolah negeri untuk menerapkan pendidikan gratis juga belum terbangun sepenuhnya. Dalam proses penerimaan siswa baru SD, SMP atau SMA, masih ada oknum panitia yang melakukan pungutan uang masuk.
Kasus orangtua calon siswa SMA negeri di Bekasi yang dimintai uang Rp 1,5 juta oleh panitia sekolah dalam penerimaan peserta didik baru belum lama ini menjadi salah satu contoh. Kesan mahalnya uang pangkal atau uang masuk sekolah itu juga dikemukakan sekitar 65 persen responden dalam jajak pendapat ini.
Minim sosialisasi

Sejumlah calon pembeli ramai mengerubuti salah satu kios penjual pakaian seragam sekolah di Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, Rabu (22/7). Penjualan seragam sekolah pun laku dibeli para orangtua yang membelanjakan anaknya pakaian seragam untuk menyambut tahan ajaran baru yang dimulai Senin (27/7).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pelajar menunjukan  Kartu Jakarta Pintar saat akan berbelanja beragam kebutuhan sekolah menggunakan Kartu Jakarta Pintar dalam Jakarta Book Fair di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Senin (27/7). Kartu Jakarta Pintar merupakan fasilitas penunjang pendidikan yang diberikan Pemprov DKI Jakarta kepada siswa kurang mampu di wilayah DKI Jakarta.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kesadaran tentang manfaat kartu pintar untuk mendukung pendidikan juga belum terserap baik di masyarakat. Cukup banyak masyarakat yang masih minim pengetahuan tentang program ini. Ratusan warga Penjaringan, Jakarta Utara, misalnya, mengaku belum tersentuh program KIP karena mereka tidak mendapatkan penjelasan tentang itu (Kompas, 13 Mei 2015).
Sekitar empat dari setiap sepuluh responden juga mengaku belum mengetahui program KIP. Selain itu, sebagian terbesar (60,3 persen) responden khawatir penerima bantuan tidak memanfaatkan secara optimal dana KIP untuk membeli buku pelajaran dan seragam sekolah.
Pemanfaatan dana KIP juga dihadapkan pada tantangan kesadaran masyarakat untuk mengikuti program ini sepenuhnya. Fakta lapangan juga menunjukkan tidak sedikit penduduk usia sekolah yang terpaksa berhenti karena membantu pekerjaan keluarganya.
Mengacu pada publikasi Badan Pusat Statistik Februari 2015, tercatat ada 17,69 juta penduduk berusia 15 tahun ke atas yang berstatus pekerja keluarga. Sebagian dari mereka adalah penduduk dalam rentang usia 15-18 tahun atau setara SMP-SMA yang merupakan kelompok sasaran penerima dana KIP.
Sebanyak 53 persen responden menilai besaran bantuan KIP belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan pendukung pendidikan. Besaran dana KIP yang berlaku sama di seluruh Indonesia juga belum tentu cukup untuk daerah tertentu.
Fakta di lapangan menunjukkan perbedaan biaya hidup antar wilayah Indonesia, terutama Jawa dan Luar Jawa, masih sangat mencolok. Sementara dana KIP dipatok sama di semua daerah, per keluarga per tahun sebesar Rp 450.000 untuk jenjang SD, Rp 750.000 untuk tingkat SMP, dan Rp 1 juta untuk SMA.
Bagaimanapun perbaikan kualitas pendidikan akan tercapai jika berbagai program bantuan pemerintah bisa tepat menjangkau kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang berkualitas senantiasa terkait dengan fasilitas pendukung yang berbiaya tinggi. Masyarakat berharap Kartu Indonesia Pintar dapat menjadi solusi. Dengan demikian, kelancaran bersekolah anak-anak terjamin, khususnya mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu.

sumber  berita indonesia
fb alvin thyo
sekolah smkn 2 sawahlunto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Teks Announcer MTQ ke 36 Di kota Sawahlunto

SISTEM PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA SENGATAN LISTRIK

Seluruh Program Keahlian SMKN 2 Sawahlunto Terakreditasi A